Saturday, May 22, 2010

ARTI GENDING

1. Pengertian
Pengertian gending secara sederhana adalah instrumentalia. Artinya lagu yang diungkapkan oleh nada-nada waditra (alat-alat). Rd. Machyar Anggakusumadinta mengemukakan lebih lanjut tentang pengertian gending ini sebagai berikut:
“Gending nyaeta rinengga suara anu diwangun ku sora-sora tatabeuhan”
(Gending ialah aneka suara yang didukung oleh suara-suara tetabuhan)
Dengan keterangan di atas, kiranya dapat kita sederhanakan bahwa gending adalah lagu yang diungkapkan oleh suara tetabuhan. Pengertian dari tetabuhan ini tidak terbatas pada alat-alat gamelan saja, tetapi alat-alat non gamelan pun termasuk di dalamnya, seperti kacapi, calung, angklung dan lain-lain

Orientasi gending dalam lagu cenderung pada alat-alat yang bernada. Akan tetapi, disadari pulaselain untuk alat-alat yang bernada, ada pula yang tidak bernada, seperti kendang, dogdog, kohkol dan lain-lain. Khusus untuk untuk alat-alat ini apabila secara mandiri untuk permainan dalam alunan bunyi pada suatu pergelaran, bisa kita sebut Karesmian Padingdangan. Bunyi alu dan lesung telah mempunyai nama tersendiri yang telah dikenal yaitu Tutunggulan..
Beberapa istilah yang menunjukan identitas gendingan adalah lagu yang memakai kata Jipang, seperti Jipang lontang, Jipang Karaton, Jipang Wayang dan sebagainya.
Dari pengertian ini kiranya para leluhur seni pada waktu yang lampau telah secara khusus mengelompokkan lagu-lagu itu menurut fungsi dan pembawaannya. Nama lain yang memberikan identitas gendingan adalah Tatalu. Gending Tatalu sangat populer pada pertunjukan teater rakyat/wayang golek. Biasanya dipergunakan sebagai gending pemula, untuk menghimpun penonton atau iberan dalang dalam wayang golek.

Menurut irama lagu yang dipergunakan, gending terdiri dari dua macam
1.1. Gending Irama Merdeka
Dalam gending irama merdika, alat yang bersangkutan lebih menjurus kepada alat-alat yang bersifat individu. Hal ini dapat dimengerti karena justru dengan irama bebas, waditra yang bersangkutan lebih bebas dalam ungkapan-ungkapannya, di mana improvisasi yang penuh dengan mamanis akan lebih terasa memberikan sifatnya yang khas. Apalagi dalam karawitan Sunda, sifat-sifat dari alat-alat yang individu ini sangat terasa menonjol, bahkan terasa menjadi sebagian dari ciri-ciri yang dipunyai karawitan Sunda bila kita bandingkan dengan daerah lain.

Alat-alat yang paling kuat dalam gending irama merdeka antara lain Rebab dan Suling, Kacapi dan Gambang memang kuat, tetapi dalam pergelarannya lebih membutuhkan irama yang tandak; hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
a) Kesan menyambung pada bunyi
b) Cara menabuh
c) Jumlah nada-nada yang tertentu
d) Kurangnya sifat alunan
Dengan demikian alat tiup dan alat gesek mempunyai beberapa kelebihan tertentu bila dibandingkan dengan alat pukul dan petik.

1.2. Gending Irama Tandak
Sesuai dengan arti tandak yang mempunyai arti tetap/ajeg, maka pengertian gending tandak adalah gending yang mempunyai aturan ketukan-ketukan dan irama tetap, terutama dalam rubuh frase kenongan dan goongan. Perpindahan tempo dan irama lagu berjalan “mayat” terutama pada bagian-bagian akhir goongan.

Gending tandak banyak dipergunakan untuk mengisi sesuatu, baik sekar maupun tarian. Bentuk-bentuk gending tandak akan didapati pada pergelaran, seperti:
a) Kacapi, suling
b) Gambangan (biasanya dilengkapi dengan ketuk dan kemyang serta gong)
c) Pradagan (senggani) dalam gamelan lengkap, biasanya berlaras salendro atau pelog
d) Rebaban (dilengkapi kacapi)
e) Lagu-lagu ketuk tilu yang terdiri dari rebab, ketuk, kempyang, kempul, kendang dan gong.
f) Padingdang (kendang penca) yang terdiri dari tarompet, kendang (terdiri dari kendang anak dan kendang indung dalam cara memainkannya) dan bende/kempul/gong kecil.
g) Gending degung yang terdiri dari suling, boning, cempres, panerus, jengglong, kendang dan gong.
h) Calung dan Angklung

INSTRUMEN/WADITRA

1. Instrumen
Pada dasarnya semua waditra/instrument karawitan Sunda dapat digunakan untuk gendingan/karawitan gending, tetapi pada pembahasan kali ini yang akan dibahas hanyalah waditra/instrument yang populer dan banyak sekali digunakan dalam kehidupan karawitan sehari-hari. Adapun instrument/waditra-waditra itu adalah: Gamelan Pelog-Salendro, Gamelan Degung, Gamelan Renteng, Kacapi :

2.1. Gamelan Pelog Salendro
Gamelan merupakan sebentuk nama alat yang didukung oleh bermacam-macam waditra di dalamnya, yang merupakan satu kesatuan komposisi dalam wujud pergelarannya.
2.1.1. Nama-nama Waditra Gamelan Pelog-Salendro
Adapun waditra-waditra itu tertentu dalam jumlahnya menurut kebutuhan atau teknik dan tradisinya. Waditra-waditranya kebanyakan terdiri dari alat pukul, seperti: dua perangkat saron, peking, demung (panerus), selentem, boang, rincik, kenong, kenong, kendang, kempul dan gong, rebab, gambang.
Dilihat dari segi cara membunyikannya, maka waditra-waditra dapat dibagi dalam empat bagian, yaitu: alat pukul, alat petik/gesek, alat tiup.

Pada gamelan pelog-salendro sangat jarang sekali dipergunakan alat tiup (misalnya suling) karena lagu (melodi) dipercayakan pada rebab. Sebaliknya pada gamelan degung tidak dipergunakan alat gesek (rebab) karena suling telah berfungsi sebagai pembawa lagu. Bahkan pada pergelaran renteng, suling dan rebab tidak dipergunakan, melodi lagu dibawakan oleh bonang.

2.2.2. Fungsi Waditra Gamelan Pelog Salendro
Komposisi yang dijalin oleh nada-nada waditra gamelan mempunyai tugas-tugas khusus dalam pergelarannya. Sifat-sifat berdialog dalam jalur melodi lagu yang berbeda-beda antar waditra berjalan bersama menuju daerah kenongan dan goongan menjadikan gending suatu kesatuan tabuh yang kaya dalam ragam gending. Dalam hal inilah salah satu unsur yang membentuk ciri husus dalam gending gamelan Sunda.

Tugas-tugas waditra dalam gending gamelan bisa diuraikan sebagai berikut:
a. Balunganing gending, Arkuh gending, Rangka gending (cantus firmus) merupakan rangka dasar gending, diisi oleh waditra Selentem dan atau Demung.
b. Anggeran wiletan (inter punctie) diisi oleh Kempul, Gong dan Kenong
c. Melodi Lagu, biasanya diisi oleh waditra Rebab atau Gambang
d. Pengatur Irama, biasa dibawakan oleh Kendang.
e. Lilitan melodi oleh Rincik
f. Lilitan Balunganing Gending diisi oleh waditra-waditra: Saron, Demung dan Bonang.

Tugas-tugas waditra ini sedemikian rupa jalinannya sehingga keharmonisan akan terasa apabila kita menelitinya secara seksama. Mereka hanya bertemu nada yang sama di daerah kenongan dan goongan, sedangkan sebelumnya mereka berjalan teratur secara menyendiri menurut tugasnya masing-masing.

2.2.3. Teknik/Motif Tabuhan Gamelan Pelog Salendro
Pada bahasan di atas telah diuraikan mengenai fungsi waditra gamelan pelog-salendro. Untuk lebih memperjelas tentang fungsi waditranya, maka di bawah ini akan diuraikan mengenai dasar teknik tabuhan dan penempatan nada-nada waditra yang bersangkutan pada daerah-daerah wiletan. Dicontohkan pada irama lagu sawilet.

WADITRA BERWILAH

1. SARON
Saron pada gamelan Sunda ada dua perangkat dimana salah satu sifat dalam lagu dan tabuhannya bersahutan atau istilahnya “dicaruk”. Untuk membedakan kedua saron tersebut, maka diberilah nama Saron 1 (Indung) dan Saron 2 (Anak). Tabuh saron 1 selaku pembawa lagu sedangkan saron 2 mengimbanginya dengan jalan membuat sahutan, kedua saron ini menabuh dengan ketentuannya masing-masing.
Saron 1 menabuh pada tiap ketukan
Saron 2 memebuntutinya serta melingkari dengan tabuh yang khusus dan biasanya pada setiap ketukan keempat jatuh pada nada yang sama dengan Saron 1
Pada prinsipnya tabuh Saron 1 untuk ketukan ke satu, dua dan empat jatuh pada nada yang sama sedangkan untuk ketukan ke tiga melewati satu nada ke arah kanan atau ke arah kiri. Sedangkan untuk Saron 2 dimulai dari nada disebelah kiri atau kanan dari nada Saron 1 dan melewati satu wilah/nada ke sebelah kiri atau kanan.

B. PELOG
Untuk gamelan berlaras Pelog prinsipnya sama hanya harus diperhatikan nada dasar (Surupan) yang digunakan apakah Jawar, Sorog atau Liwung. Karena selama menabuh tiap surupan ada dua buah nada untuk sementara tidak ditabuh, untuk lebih jelasnya lihat penampang nada di bawah ini, wilah yang diarsir adalah nada yang tidak ditabuh:

2. PEKING
Sampai saat ini patokan tabuh Peking belum ada karena waditra ini pada tabuhannya lebih bersifat improvisasi, yang menjadi patokan adalah jatuhnya kenongan dan goongan. Namun tuntuk tahap pemula tentu saja harus diberikan salah satu motif, salah satunya dengan menggunakan pola ritme seperti di bawah ini dan dapat dikembangkan sesuai kebutuhan.
Sedangkan untuk bunyi melodinya merupakan melodi gabungan antara tabuh Saron 1 dan Saron 2.

3. DEMUNG/PANERUS
Demung mempunyai keunikan tersendiri dalam motif tabuhannya dalam setiap irama. Dalam irama sawilet cara yang dipakai adalah bergerak ke arah kanan atau kiri menuju arah dua nada, kemudian kembali ke nada semula melalui nada yang pernah dilewatinya. Mengenai hubungannya dengan ketukan, Demung ada yang jatuh pada ketukan dan ada yang mengambang (dalam istilah Sunda :”nyentugan” ).

4. SELENTEM
Waditra Selentem mengisi ritme dan nada yang berfungsi sebagai Arkuh Lagu/Balunganing Gending pada ketukan ke dua dan ke empat.


5. GAMBANG
Waditra Gambang dapat befungsi sebagai melodi lagu dan dapat pula sebagai lilitan melodi lagu. Melodi dibawakan ketika tidak mengiringi sekar dan ketika mengiringi sekar maka Gambang tabuhannya dicaruk dengan ritme motif tabuh sederhana


WADITRA BERPENCLON

1. BONANG
Pada dasarnya waditra Bonang mengisi ketukan ke satu dan ke tiga dengan nada yang menjadi kenongan dan goongan sedangkan pada ketukan ke empat menabuh nada yang berfungsi sebagai Pancer sebagai tanda perpindahan antar kenongan dan goongan suatu lagu.


2. RINCIK
Tabuh Rincik sifatnya mengambang artinya tidak bersamaan dengan ketukan. ketukan yang dibuntutinya mulai ketukan ke satu sampai selesai. Nada yang ditabuhnya adalah nada yang berfungsi sebagai kenongan dan goongan

3. KENONG
Ketukan ke empat atau ketukan terakhir pada setiap matera diisi oleh tabuhan Kenong dan biasanya nada yang ditabuh adalah nada yang berfungsi sebagai Kenongan, Goongan serta Pancer.

4. KEMPUL DAN GONG
Dalam jalannya suatu lagu maka kedua waditra ini merupakan waditra yang memberikan keajegan wiletan atau “ANGGERAN WILETAN” sehingga perubahan suatu irama akan tampak jelas dari kedua waditra ini namun pada dasarnya Kempul akan mengisi ketukan pada bilangan ke dua, tetapi sebagai tanda akan jatuh Goongan maka Kempul menabuh kempul tanggara yang jatuh pada bilangan ke empat matera ke tiga. Sedangkan waditra Goong menabuh pada ketukan ke empat dari bagian akhir lagu pada setiap irama.


2.2.4. Nama-nama Gending
Gending- gending tradisi pada Karawitan Sunda dapat kita kelompokkan menjadi:
a. Gending-gending yang digunakan untuk “tatalu” (sebelum pergelaran dimulai)
(1) Jipang Karaton
(2) Jipang Wayang
(3) Jipang Renggong
(4) Kajawenan
(5) Karatagan Gede

b. Gending-gending yang digunakan untuk mengiringi sekar dan atau tari terbagi:
(1) Jenis Rerenggongan Alit antara lain: Macan Ucul, Sekar Tiba, banjaran, Kulu Kulu Barang, Uceng
(2) Jenis Rerenggongan Ageng antara lain: Sulanjana, Kresna Tunggara, Renggong Bubaran, Udan Mas, Banjar Jumut
(3) Jenis Gending Sekar Tengahan antara lain: Badaya, Gawil Bem
(4) Jenis Gending Sekar Ageng antara lain: Kawitan, Gunung Sari

GAMELAN DEGUNG

2.2. Gamelan Degung
Arti Degung sebenarnya hampir sama dengan Gangsa di Jawa Tengah, Gong di Bali atau Goong di Banten yaitu Gamelan, Gamelan merupakan sekelompok waditra dengan cara membunyikan alatnya kebanyakan dipukul.
Pada mulanya Degung berupa nama waditra berbentuk 6 buah gong kecil, biasanya digantungkan pada “kakanco” atau rancak/ancak. Waditra ini biasa disebut pula “bende renteng” atau “jenglong gayor”. Perkembangan menunjukan bahwa akhirnya nama ini digunakan untuk menyebut seperangkat alat yang disebut Gamelan Degung dimana pada awalnya gamelan ini berlaras Degung namun kemudian ditambah pula dengan nada sisipan sehingga menjadi laras yang lain (bisa Laras Madenda/Nyorog ataupun laras Mandalungan/Kobongan/Mataraman)
Ada anggapan lain sementara orang bahwa kata Degung berasal dari kata ratu-agung atau tumenggung, seperti dimaklumi bahwa Gamelan Degung sangat digemari oleh para pejabat pada waktu itu, misalnya bupati Bandung R.A.A. Wiranatakusuma adalah salah seorang pejabat yang sangat menggemari Degung, bahkan beliaulah yang sempat mendokementasikan beberapa lagu Degung kedalam bentuk rekaman suara.
Ada pula yang menyebutkan Degung berasal dari kata “Deg ngadeg ka nu Agung” yang mengandung pengertian kita harus senantiasa menghadap (beribadah) kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dalam bahasa Sunda banyak terdapat kata-kata yang berakhiran gung yang artinya menunjukan tempat/kedudukan yang tinggi dan terhormat misalnya : Panggung, Agung, Tumenggung, dsbnya. Sehingga Degung memberikan gambaran kepada orang Sunda sebagai sesuatu yang agung dan terhormat yang digemari oleh Pangagung.
Mula mula Degung merupakan karawitan gending, penambahan waditrapun berkembang dari jaman ke jaman. Pada tahun 1958 barulah dalam bentuk pergelarannya degung menjadi bentuk sekar gending, dimana lagu-lagu Ageung diberi rumpaka, melodi lagu dan bonang kadangkala sejajar kecuali untuk nada-nada yang tinggi dan rendah apabila tidak tercapai oleh Sekar. Banyaknya kreasi-kreasi dalam sekar, tari, wayang menjadikan degung seperti sekarang ini.

2.2.1. Nama-nama Waditra
Istilah waditra khususnya dalam degung dan umumnya dalam Karawitan Sunda adalah istilah yang digunakan untuk menunjukan alat-alat yang digunakan dalam kegiatan berkesenian. Istilah dalam musik “instrumen”.
a. Bonang, terdiri dari 14 penclon dalam ancaknya. Berderet mulai dari nada mi alit sampai nada La ageng
b. Saron/Cempres, terdiri dari 14 wilah. Berderet dari nada mi alit sampai dengan La rendah.
c. Panerus, bentuk dan jumlah nada sama dengan saron/cempres, hanya berbeda dalam oktafnya.
d. Jengglong terdiri dari enam buah. Penempatannya ada yang digantung dan ada pula yang disimpan seperti penempatan kenong pada gamelan pelog.
e. Suling, suling yang dipergunakan biasanya suling berlubang empat.
f. Kendang, terdiri dari satu buah kendang besar dan dua buah kendang kecil (kulanter). Teknis pukulan kendang asalnya dipukul/ditakol dengan mempergunakan pemukul. Dalam perkembangannya sekarang kendang pada gamelan degung sama saja dengan kendang pada gamelan salendro-pelog.
g. Gong, pada mulanya hanya satu gong besar saja, kemudian sekarang memakai kempul, seperti yang digunakan pada gamelan pelog-salendro.

2.2.2. Fungsi Waditra
Untuk mengetahui fungsi waditra dalam gamelan degung, harus dibagi dahulu bentuk lagu yang dibawakan. Bentuk lagu yang terdapat pada gamelan degung terdiri dari dua bagian besar, yaitu: Lagu-lagu Kemprangan dan Lagu-lagu Gumekan .

Lagu kemprangan tiada bedanya dengan bentuk Rerenggongan pada gamelan salendro. Biasanya lagu yang dibawakan berirama satu wilet atau keringan, misalnya lagu Jipang Lontang, Gambir Sawit, Kulu-Kulu, catrik dan lain-lain. Pada dasarnya posisi tabuh sama dengan posisi pada gamelan salendro.
Fungsi waditra pada lagu kemprangan ini adalah sebagai berikut:
· Jengglong = balunganing gending
· Suling = pembawa melodi
· Kendang = pengatur irama
· Saron = lilitan melodi
· Bonang = lilitan balunganing gending
· Gong = paganteb wilet

Gumekan sebenarnya nama teknis tabuhan, tetapi di sini bisa diartikan pula sebagai bentuk lagu degung yang khas dalam lagu-lagu ageng. Fungsi waditra pada gumekan sangat berbeda sekali dengan gending-gending lainnya, terutama dalam pembawa melodi lagu.
Fungsi waditra dalam lagu/gending ageng tabuh gumekan:
· Bonang = pembawa melodi
· Suling = lilitan melodi
· Saron/Cempres = lilitan melodi
· Panerus = cantus firmus
· Jengglong = balunganing gending
· Gong = panganteb wiletan

2.2.3. Teknik/Motif Tabuhan pada Gamelan Degung
Waditra Bonang baik pada lagu-lagu bentuk kemprangan maupun bentuk “Gumekan” memerlukan kedua belah tangan yang dalam menabuhnya antara tangan kanan dan kiri ada yang bersamaan baik swarantara gembyang, kempyung dan Adu laras, bergantian (Sunda, Patembalan) sesuai notasi.
Untuk waditra berwilah pada Degung diperlukan teknik tengkepan yaitu tangan yang satu memukul tepat ditengah wilah panakol tegak dan tangan lainnya “nengkep” (memegang waditra untuk mengurangi efek tabuhan sehingga gelombang nadanya tidak menjadi panjang). Sedangkan waditra Jengglong yang menggunakan dua buah pemukul mempunyai ketentuan yaitu tangan kanan untuk nada: 1, 3, 5 alit dan tangan kiri untuk nada: 1, 4, 5
Waditra Kendang dan Suling disesuaikan dengan teknik masing-masing waditra dan kebutuhan.

Kemprangan
Kemprangan adalah cara membunyikan bonang antara tangan kiri dan kanan berjarak satu gembyang, nada gembyang ditabuh bersahut-sahutan.
Motif melodi dapat berbeda-beda, setiap orang dapat membuat melodi masing-masing untuk setiap lagu berdasar Arkuh lagunya dengan prinsip kenongan dan goongan harus sama.

2.2.4. Nama-nama Gending Degung
Gending-gending degung kemprangan dalam beberapa hal tidak ada bedanya dengan gamelan salendro, tetapi mempunyai kekhususan tertentu dalam lagunya, yaitu lagu-lagu yang jarang dipergunakan dalam gamelan salendro. Lagu-lagunya antara lain; Jipang Lontang, Jipang Prawa, Catrik, Gambir Sawit, Kulu-Kulu, Puspajala, Kunang-Kunang, Paron, dan lain-lain.
Dalam bentuk gumekan, lagu-lagunya antara lain: Palwa, Manintin, Sang bango, ladrak, Lalayaran, Ayun Ambing, Sunda Mekar, Kadewan, Pajajaran dan sebagainya.

GAMELAN RENTENG

2.3. Gamelan Renteng
Di samping kedua gamelan yang telah disebutkan di atas, di Jawa barat pun hidup suatu unit gamelan lain yang biasa disebut gong renteng atau degung renteng.

2.3.1. Nama Waditra
a) Bonang/Kukuang renteng/Koromong, terdiri dari 12 sampai 14 buah penclon
b) Saron/Salukat/Cecempres/Gangsa, terdiri dari 12 sampai 14 bilah
c) Jengglong, terdiri dari 5 sampai 7 buah
d) Kenong/Panglima, terdiri dari 5 sampai 7 buah
e) Kendang dan Kulanter
f) Gong Besar sebanyak dua buah

2.3.2. Fungsi Waditra
a) Bonang/Kokuang/Koromong sebagai pembawa melodi lagu
b) Saron/Salukat/Cecempres/Gangsa berfungsi sebagai melodi, dapat juga sebagai lilitan lagu dan kadangkala pula sebagai accompagnement
c) Jengglong, sebagai rangka/arkuh lagu
d) Kenong/Panglima sebagai akhir kalimat lagu
e) Kendang dan kulanter sebagai pengatur irama
f) Gong sebagai penutup kalimat lagu/panganteb rasa

2.3.3. Motif-motif tabuh
Motif tabuh yang terdapat pada gong renteng ini disesuaikan dngan fungsi waditra. Oleh karena itu, kebanyakan tabuh untuk boning banyak motif tabuh digumek seperti halnya pada degung untuk lagu-lagu gumekan.

2.3.4. Nama-nama gending
nama gending-gending pada gong renteng antara lain: Asmarandana, Bango Butak, Boyong, Pangkur, Papandana, celeng, Didikiran, hujan palis, Kejo tutung, Kapatihan, teleganjur, Galatik Ngunguk, dongdang, dan lain-lain.

KACAPI

2.4. Kacapi
Kacapi merupakan alat petik asli Indonesia yang serumpun dengan alat petik serupa yang terdapat di Asia tenggara dan Asia Timur (Thai, Birma, Vietnam, Cina, Korea dan Jepang).
Di Indonesia kacapi terdapat pada suku batak, sunda, Jawa, dayak, bugis, toraja, timor dan daerah-daerah lainnya, bentuk dan nama alatnya sendiri berbeda-beda, misalnya ada yang menyebut kasapi, kacaping, kutiapi, kacapi, dsbnya.

Kacapi sunda, bentuk dn teknik memetiknya lebih berkembang dan sudah maju bila dibandingkan dengan alat-alat petik lainnya yang terdapat pada suku-suku lain di Indonesia, bahkan sekarang dengan adanya kemajuan teknologi, maka dibikinlah kacapi elektronik (kacapi yang diperkeras bunyinya dengan menggunakan arus listrik)

2.4.1. Bentuk Kacapi Sunda
Berdasarkan pada bentuknya, kacapi sunda mempunyai dua macam bentuk, yaitu
a) Kacapi parahu atau kacapi lesung atau ada pula yang menyebut kacapi gelung, terdiri dari kacapi indung (bentuknya besar) dan kacapi rincik (bentuknya kecil)
b) Kacapi siter yang disebut juga kacapi peti atau kotak, lebih praktis untuk dibawa seperti halnya apabila membawa instrument gitar yang digunakan dalam musik.
Dari kedua bentuk kacapi di atas, pada pergelarannya mempunyai kekhususan, yaitu kacapi parahu digunakan pada pergelaran tembang Cianjuran, sedangkan kacapi siter untuk mengiringi Kawih bentuk anggana sekar, rampak sekar dan sekar-sekar lainnya

2.4.2. Fungsi dan kedudukannya
Fungsi permainan kacapi dalam seni karawitan, baik gendingan maupun mengiringi sekar dan sebagai kelengkapan seni pantun dalam membawakan kisah-kisah raja zaman pajajaran, berfungsi dalam memainkan lagu luas sekali, baik sebagai pembawa irama, melodi, rangka lagu, lilitan dan akhiran lagu, tercakup dalam teknik permainanya. Oleh karena itu, kacapi merupakan alat yang istimewa, dapat digunakan untuk sekar, gending dan sekar gending, mudah dirubah larasnya sesuai dengan lagu yang akan dimainkan juga praktis untuk dibawa.
Kedudukan waditra kacapi adalah rangkap sebab dapat dimainkan secara mandiri tanpa bantuan waditra lain dan bisa pula berperangkat dengan waditra lain baik sebagai instrument pokok maupun instrument tambahan, misalnya pada kacapi-suling, kiliningan, degung, angklung, calung dan lain-lain.

2.4.3. Motif Tabuhan
Seperti telah diuraikan di atas bahwa fungsi kacapi dalam memainkan lagu sangat luas. Maka pada perkembangan motif tabuh kacapi ada beberapa macam yaitu:
a) Diranggem dan dikemprang untuk: mengirngi lagu sehingga kacapi berfungsi sebagai “panganti” (menanti jatuhnya suara yang akan jatuh, baik pada kenongan maupun goongan).
b) Disintreuk untuk membuat melodi pendek atau melodi panjang baik sebagai intro maupun sisipan/gelenyu, maupun mengiringi sekar irama merdeka.
c) Gabungan dari kedua motif tabuh di atas, digunakan untuk mengiringi sekar dan atau membuat melodi.

Di dalam pergelarannya, motif tabuh kacapi berbeda-beda tergantung kepada materi yang dipergelarkan, misalnya motif tabuh kacapi pada tembang Sunda/Cianjuran akan berbeda dengan motif tabuh pada Celempungan juga dengan jenaka sunda.
Untuk lebih jelasnya, baiklah kita tinjau satu persatu.

(1). Kacapi pada Tembang Cianjuran
* Kebanyakan laras yang digunakan dalam Tembang Sunda/Cianjuran adalah laras pelog/degung, disamping laras nyorog/madenda, mandalungan dan laras salendro
* Kacapi digunakan untuk:
- Memberi patetan untuk sekar/vocal
- Mengejar, melilit dan menunggu “rubuh-rubuh sora” dari melodi sekar;
- Gelenyu-gelenyu (melodi awal dan melodi sisipan)
- Mengiringi lagu panambih/extra

(2). Kacapi pada Pantun
Tabuh kacapi dalam pantun sebenarnya banyak hal yang sama dengan tabuh kacapi pada tembang, hanya teknis tabuhnya digunakan untuk memberi suasana, adegan-adegan perang, antawacana tiap tokoh, rajah, mengiringi sekar dan sebagainya.

(3). Kacapi pada Celempungan
Kacapi pada celempungan fungsinya kebanyakan untuk mengiringi sekar, dengan cara dirangggeum. Laras yang biasa banyak digunakan adalah laras salendro. Adapun sekar bisa mempergunakan laras-laras lainnya. Dengan tabuhan yang sama, bisa mengiringi sekar yang larasnya lain, misalnya kacapi laras salendro mengingi sekar laras madenda atau degung, bahkan kadangkala laras pelog.
Terasa sekali bahwa kacapi dalam hal ini merupakan waditra yang fleksibel.

(4). Kacapi pada Jenaka Sunda
Dalam kacapi Jenaka Sunda, kacapi dipetik (disintreuk) hanya pada bagian pangkat saja. Seterusnya tabuh “diranggeum” atau “dikemprang”. Wiletan kadang-kadang tidak tetap. Hal ini dikarenakan “aleu-aleu senggol” yang sengaja dibiarkan bebas berimprovisasi, yang akhirnya kacapi menanti rubuhnya suara/nada sekar.

Di samping tabuhan di atas ada pola motif tabuhan lain yang kedengarannya bisa membangkitkan orang tertawa. Hal ini merupakan kreasi dari madakeun kenongan atau goongan.
Contoh tabuhan semacam ini ditemukan pada kacapi Jenaka Sunda, dengan nama-nama tabuhan seperti: Belekuk, Tekuk, Pingping cakcak, Cir Gobang Gocir, Domba nini euntreu-euntreukeun, dan lain sebagainya.

(5). Kacapi gaya Mang Koko
Ada beberapa hal perbedaan teknis menabuh kacapi gaya Mang Koko ini dengan tabuh kacapi lainya, yaitu:
(a) Posisi tangan kanan dan kiri, di mana tiap jari mempunyai tugas masing-masing. Ada yang mengatakan system 10 jari.
(b) Adanya gending macakal yang khusus (aransement) untuk suatu lagu dengan system dimelodikeun dengan cara dipetik/disintreuk berfungsi sebagai intro maupun gending panyelang/gelenyu/sisipan.
(c) Penggunaan laras kacapi disesuaikan dengan laras pada sekar, misalnya sekar berlaras Madenda 4=Tugu, maka kacapi pun disurupkeun/steming ke laras madenda 4=Tugu.
(d) Pirigan tidak selamanya diranggeum/dikemprang, tetapi kadangkala bersamaan dengan sekar atau dengan system rinengga ageng (bas).

Tidaklah berlebihan apabila Mang Koko disebut “Bapak Pamekaran Kacapi”, karena dari beliaulah lahir:
* Etude-etude kacapi, sebagai penuntun untuk belajar kacapi
* Membuat gending kacapi/aransement yang harmonis dengan sekar
* Mempergunakan lebih dari satu kacapi dalam mengiringi suatu lagu karena adanya perpindahan laras dan surupan (misalnya: pada lagu : Irian Dayeuh nu Kula)
* Instrumentalia melodi lagu sekar dengan mempergunakan teknik rinengga ageng
* Timbulnya laras yang berbeda suasana akibat adanya surupan-surupan yang dibuat pada kacapi, seperti sorog, kobongan/mataraman.
* Dengan adanya etude-etude , maka terciptalah suatu ansamble kacapi yang dapat dimainkan oleh banyak orang, misalnya 30 orang sampai 100 orang.

ISTILAH ISTILAH

3 Istilah istilah
Pada karawitan sunda, khususnya karawitan gending terdapat beberapa istilah yang sering dipergunakan sehari-hari.
Adapun istilah-istilah itu antara lain:
3.1. Wiletan
Wiletan atau wiramatra identik dengan matra (maat, metrum) pada musik atau pengertian gatra pada karawitan Jawa. RMA Kusumadinata menguatkan arti sebagai berikut:
“Wiletan (wiramatra): tegesna lolongkrang di antara dua wirahma” (Wiletan merupakan jarak di antara dua wirahma)
Jatuhnya kenongan dan goongan banyak berpangkal kepada wiletan, tergantung pada irama lagu yang dipergunakan, sebagai contoh:
Irama lagu sawilet mempunyai 4 wiletan dengan jumlah ketukan 16, pada gerakan sedeng/panengah. Tiap wiletan mempunyai 4 ketukan. Kenongan lagu jatuh pada ketukan ke-8 dan goongan jatuh pada ketukan ke-16. untuk jelasnya perhatikan bagan di bawah ini:
/ / wiletan = matra
/ . . . . / titik-titik, ketukan yang terdapat dalam matra/wiletan
N NG
/ . . . . / . . . . / . . . . / . . . . / N = Kenongan, G = Goongan
Keterangan:
Sawilet mempunyai 4 wiletan, di mana pada ketukan ke-8 jatuh kenongan dan pada ketukan ke-16 jatuh goongan dengan mempergunakan irama lagu sedang.

Pembagian daerah wiletan pada irama lagu sawilet terdiri dari:
/ . . . . / . . . . / . . . . / . . . . /
wiletan pancer wiletan kenong wiletan pancer wiletan gong

Pembagian daerah kenongan dan goongan pada matra/wilet, bila dilihat dari segi jalannya lagu:
/ . . . . / . . . . / . . . . / . . . . /
wiletan gong wiletan kenong wiletan gong

Untuk lagu-lagu dua wilet pada dasarnya merupakan perkalian dua dari bentuk irama satu wilet, baik dalam jumlah wiletan maupun dalam ketukan, jatuh satu goongan pada irama dua wilet pada ketukan ke-32 atau pada akhir wiletan kedelapan.
Pada prakteknya bentuk dua wilet ini dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu : Dua Wilet kendor dan Dua Wilet gancang.
Para nayaga yang biasa mengiringi lagu-lagu kawih dan sinden cenderung menyebut bentuk dua wilet gancang ini dengan sebutan gerakan satu setengah. Disebutkan lebih lanjut bahwa untuk gerakan satu setengah ini, irama yang dipergunakan dengan ukuran tertentu, yaitu sawilet kendor, duawilet gancang. Irama satu setengah wilet ini sangat disenangi karena terasa sangat leluasa untuk memberikan variasi dan improvisasi, baik untuk sekar maupun untuk juru gending. Sekar dalam kawih paling banyak mempergunakan wiletan satu setengah ini.

Bentuk lagu empat (4) wilet biasa menggunakan gerakan lalamba atau lenyepan. Gong jatuh pada ketukan ke-64 dan kenongan pada ketukan ke-32, dengan jumlah 16 wiletan dalam satu goongan. Lagu lalamba biasa disebut lagu lagu “Ageng”. Hal ini sebenarnya kurang tepat apabila yang menjadi pegangan pada bentuk empat wiletan, karena bisa ditemukan lagu-lagu yang dikategorikan lagu ageng, tetapi dilihat jumlah wiletannya, ternyata ada yang lebih, sebagai contoh kita dapati pada gending Gawil. Suatu keistimewaan yang lain bahwa selain dari jumlah wiletan berbeda dengan lainnya, juga terdapat gong rangkap (gong berturut-turut setelah gong pertama kemudian gong lagi).

Lagu lalamba terasa adanya kekuatan dalam menjalin rasa ketenangan; hal ini tampak dari segi lagunya dan tercermin dalam teknis menabuh gamelannya. Dalam adegan wayang golek, lalamba sering digunakan untuk watak-watak yang halus. Suatu hal yang sangat dominant sekali pada lalamba ini ialah waditra rebab, di mana waditra ini dijadikan jejer/pokok yang sangat menonjol sekali dalam membawakan melodi lagu dan dijadikan patokan untuk gerakan tari yang dibawakan.

Gerakan Kering/Gurudugan, wiletan hanya terdiri dari dua matra saja, gong jatuh pada ketukan kedelapan dan kenongan jatuh pada ketukan ke empat. Karena gerakannya yang cepat pada wilet kering ini, hamper tidak ada kesempatan kepada sekar untuk mengisinya. Irama kering biasanya sangat sesuai untuk watak-watak keras dan kasar atau untuk mendukung adegan peperangan.

Perubahan antara irama dalam ketukan wiletan dan lagu disebut naek (ditaekeun)atau turun (diturunkeun). Untuk naek dan turun ini waditra kendang mempunyai peranan penting dalam memberi aba-aba dengan pukulan tertentu sehingga para juru gending mengerti akan adanya peralihan dalam lagu gending. Istilah naek (ditaekkeun) terjadi pada wiletan-wiletan terakhir pada lagu. Jalannya lagu bisa menurun pada iramanya, kemudian kira-kira empat ketuk sebelum gongan berjalan datar (cenderung lebih cepat) untuk kemudian masuk pada irama tabuh/lagu yang dituju.

3.2. Pangkat
Pangkat ialah lagu yang pendek, diaminkan/dibawakan oleh salah satu waditra atau sekar/vokal, untuk memulai lagu/gending, baik yang bersifat tandak maupun irama merdeka.
Gunanya pangkat:
a. Untuk memberi aba-aba dan pengarahan terhadap lagu yang akan dimainkan;
b. Untuk memberikan irama lagu yang dipergunakan;
c. Dasar-dasar patetan dan surupan untuk sekar dang ending.

Pada pergelarannya, pangkat bisa dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:
3.2.1. Pangkat Tabuh
Pangkat ini cenderung mempergunakan laras yang sama untuk lagu yang akan dimainkan. Sangat terima sekali apabila pergelarannya itu merupakan pergelaran gending saja (instrumentalia).

3.2.2. Pangkat Lagu
Pangkat ini lebih banyak berorientasi kepada laras yang dipergunakan oleh lagu sekar. Waditra yang sangat memungkinkan ialah rebab karena rebab bisa mengungkapkan nada-nada dalam berbagai laras. Sebagai contoh, gamelan salendro bila akan mirig lagu sekar dalam laras lain seperti degung, madenda, pelog, maka rebab langsung memainkan laras yang dipergunakan, sedangkan waditra lain tetap menabuh dengan nada-nada salendro. Paduan antara sekar dang ending dalam nada yang sama akan bertemu pada saat kenongan dan goongan dengan bentuk-bentuk yang tumbuk. Yang dimaksudkan dengan tumbuk ialah nada yang sama dalam laras yang berbeda, baik antara waditra dan wanitra maupun waditra dengan sekar/vokal. Sifat iringan yang berbeda laras seperti contoh di atas bisa disebut Panganti.

3.2.3. Pangkat Pangjadi
Dalam pangkat pangjadi, pangkat tidak putus sesudah gong saja, tetapi setelah itu masih mempunyai tugas untuk mengarahkan lagu yang akan dimainkan bersma, yang biasanya dibantu pula oleh waditra lain yang berfungsi sebagai pembawa irama lagu, yaitu waditra kendang. Banyaknua matera dalam pangkat pangjadi yang dilaksanakan kemudian setelah gong berkisar pada satu atau dua matera saja. Contoh dalam gending bentuk lalamba sangat jelas terasa adanya pangkat pangjadi.

3.2.4. Pangkat Peralihan
Bentuk dalam pangkat peralihan sebenarnya hampir sama dengan pangkat-pangkat yang lain. Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan yang menyolok, yaitu sebagai jembatan peralihan, baik dalam irama lagu maupun posisi tabuhnya.
Sebagai contoh pada iringan tari Anjasmara yang memergunakan tabuh gending Rumiang sebagai patokan gendingnya, diawali dahulu dengan gending “gurudugan” setelah ada aba-aba dengan kendang maka salah satu waditra membuat pangkat peralihan dan memberikan arahan irama dang ending yang akan dibawakan. Dalam iringan-iringan Tari Kursus terasa setelah gerag Baksa (ngabaksaan) beralih kepada tari Lenyepan.


3.3. Posisi (Patokan/Pola) tabuh
Posisi Tabuh diambil atau diolah dari jatuhnya kenongan dan goongan pada nada-nada yang tetap dengan ritme yang sama sebagai bentuk kristalisasi untuk menyerhanakan bentuk.
Posisi tabuh bisa dikembangkan menurut
a. Patet yang dipergunakan
Patet yang digunakan pada suatu gending apabila dirubah maka akan terjadi perubahan baik akan jiwa gendingnya, suasana dan tentu saja merubah nama lagunya. Patokan untuk diperbandingkan biasa berorientasi kepada patet Nem (barang)
b. Irama lagu yang dipergunakan
Perubahan terjadi pada dasarnya merupakan pengembangan ritme pada jatuhnya kenongan dan goongan, akan menyebabkan pula perubahan suasana, jiwa dan nama lagu. Contoh lagu Gendu sawilet diubah menjadi empat wilet, maka nama lagunya menjadi Tablo.

Nama-nama posisi tabuh dalam patet Nem
(1). Gendu kenongan tabuh T (G)
(2). Kulu-Kulu kenongan tabuh L (G)
(3). Banjaran kenongan tabuh T (L) T (G)
(4). Panglima kenongan tabuh G (L) G (T)
(5). Karang Nunggal kenongan tabuh L (T) L (G)
(6). Bendrong kenongan tabuh (T) – (L)
(7). Angle kenongan tabuh (T) – (L) – (G)
(8). Renggong Gancang kenongan tabuh L (T) P (G)
(9). Samarangan kenongan tabuh (L) – (G)

Keterangan:
* Nada yang dipakai kurung artinya goongan
* Untuk posisi yang seluruhnya memakai kurung, berlaku rangkap, sebagai kenongan juga sebagai goongan.
* T = Tugu, L = Loloran, P = Panelu, G = Galimer, S = Singgul

CIRI CIRI GENDING

4. CIRI CIRI GENDING
Beberapa kesimpulan yang dapat ditarik dari pengertian gending dengan segala ragamnya, sehingga dapatlah ditarik suatu kesimpulan yang memberi batasan tentang cirri-ciri karawitan Sunda, khususnya mengenai karawitan gendingnya.
Adapun cirri-cirinya adalah:
a) Memuai
Gending-gending pada bentuk tradisional sebenarnya sederhana saja. Dari pola-pola yang sederhana ini dapat dikembangkan lebih besar lagi atau lebih diciutkan dalam teknis pergelarannya. Sebagai contoh sebuah kenongan tabuh dalam satu wilet, bisa dikembangkan menjadi dua wilet, lalamba atau empat wilet ataupun kebalikannya, dengan tetap jatuhnya kenongan dan goongan masih tetap pada nada-nada yang sama. Dengan demikian, irama bisa berubah menurut kehendak penabuh yang bersangkutan.

Hal ini akan terlihat pada posisi-posisi tabuh, baik yang dimainkan oleh gending gamelan maupun dalam gending kacapi dan alat-alat lain. Perbedaan-perbedaan kadangkala hanya terletak pada nama saja atau patet yang dipergunakan. Sebagai contoh: Kulu-kulu Bem adalah lagu yang mempunyai irama empat wilet (lalamba), sedangkan posisi dasarnya cukup dikenal ddengan nama Kulu-kulu.
Contoh-contoh lain bisa juga terlihat pada jumlah lagu-lagu dalam vokal yang berangkat dari satu posisi saja, tetapi bisa mengiringi bermacam-macam lagu dan laras yang berbeda-beda.

Sifat memuai dalam gending Sunda dapat menjangkau beberapa hal, yaitu: Pengembangan Wiletan, Pengembangan Patet, Pengembangan Laras dan Lagu serta Pengembangan Dinamika.

b) Patet Kuat Kedudukannya
Seperti telah diterangkan di atas bahwa sifat muai dalam gending Sunda bisa mengembangkan patet dan dengan pengembangan patet itu terjadi bermacam-macam lagu. Dilihat dari teknis pagelaran, bila gending Sunda bermain dalam satu patet (misalnya mengambil patet barang), maka kedudukan patet tetap pada nada-nada yang telah tertentu. Melagukan gending Banjaran, walaupun berubah-rubah wiletan, kedudukan patet tetap utuh.

Perpindahan laras dalam melodi rebab, sama sekali tidak menggoyahkan patet yang dipergunakan dalam gending itu. Begitu pula improvisasi-improvisasi dari waditra lain tetap teguh pada kedudukan jatuhnya nada-nada kenongan dan goongan dalam patet itu.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari kuatnya kedudukan patet dalam gending Sunda dapat terlihat dalam gending Sunda, yaitu dalam hal ini:
1) Kedudukan nama lagu dan posisinya
2) Sifat polyphone yang jatuh pada arah nada yang sama dalam kenongan dan goongan
3) Kedudukan tiap wiletan dalam jalannya lagu gending

c) Waditra Fleksible
Kelengkapan dalam jumlah waditra dalam gending Sunda terasa tidak terlalu ketat, kecuali dalam waditra-waditra tertentu, misalnya kendang atau rebab. Ketidak ketatan itu membawa pengaruh lain terhadap waditra-waditra lain sehingga pergantian tugas antar waditra itu sering terjadi dengan mempengaruhi tugas pokok dari waditra yang bersangkutan.

Sebagai contoh, tabuh boning sering memborong sekaligus carukan dengan rincik atau demung karena demung atau rincik tidak ada. Hal ini dapat terjadi pada iringan gamelan wayang. Saron 1 dan saron 2 selain bersahutan dalam carukan, sewaktu-waktu mempunyai tugas lain (biasanya saron 2), yaitu dengan menabuh bagian selentem atau rincik. Gamelan yang lengkap ini bisa kita lihat pada bentuk-bentuk kliningan atau iringan untuk sandiwara. Begitu fleksibelnya waditra, sampai-sampai dalam kacapi pantun bisa berfungsi bermacam-macam tabuh, di mana tabuh-tabuh itu kalau kita selidiki secara saksama merupakan bentuk-bentuk tabuh yang ada pada waditra gamelan.

Demikian waditra itu tampak selain mempunyai tugas yang khusus, dapat pula menjangkau tugas-tugas lain, terutama dalam mengisi hal-hal yang kosong. Dengan demikian, tidaklah menjadi masalah, apakah gamelan itu lengkap atau tidak karena pada hakikatnya tugas-tugas itu bisa ditanggulangi oleh waditra lain. Tidaklah menjadi heran apabila dalam suatu pagelaran kita hanya melihat gamelan yang mengemukakan hanya dua buah saron, kendang dan gong saja. Hal inilah yang kadangkala menjadi perbedaan dengan gending-gending Jawa yang membutuhkan perlengkapan yang lengkap.

Sifat fleksibel dari waditra sebenarnya tidak terlepas pula dari sifat-sifat alat-alat (waditra) pada Karawitan Sunda yang mempunyai sifat individu. Dari sifat individu inilah akhirnya mengembangkan variasi-variasi tabuh yang bisa diolah dari mulai alat yang sederhana sampai pada alat-alat yang lebih sukar. Gending Sunda bisa berjalan dari personal yang sedikit, sampai dalam jumlah yang besar, dengan melakukan gending-gending yang sama mereka berjalan dengan tetap harmonis.

d) Fungsi Kendang dan Rebab Sangat Menonjol
Kendang dan Rebab merupakan alat individu yang mempunyai variasi tabuh yang banyak sekali. Kendang dan Rebab akan menjadi ukuran terhadap keterampilan seseorang nayaga. Ukuran yang dimaksud ialah ukuran yang berhubungan dengan prestise dan prestasi. Prestise banyak berhubungan dengan imbalan yang tersendiri, terutama bila mereka itu menerjunkan diri dalam kancah professional, sedangkan prestasi banyak berhubungan dengan kecekatan dan kecakapan/keterampilan, karena dengan bisa secara mahir menabuh kendang atau rebab, maka yang bersangkutan sudah dianggap mampu memainkan gending dan waditra-waditra lain.

Sebenarnya masih ada alat-alat individu yang lain, seperti kacapi dan suling, tetapi dalam pergelarannya jarang disatukan dengan gending gamelan.

Kendang dan Rebab, demikian menonjol dalam gending terutama dalam gending wayang dan iringan tari. Hal ini dapat dimengerti karena ada beberapa hal yang memperkuat kedudukan fungsi rebab dan kendang dalam gending, antara lain:
1) Sifat-sifat individu
2) Menjadi pembimbing terhadap waditra-waditra lain
3) Keperluan gending itu sendiri yang lebih menonjolkan kendang dan rebab sebagai pendukung utama
4) Warna-warna yang berbeda dengan alat pukul lain
5) Kemungkinan-kemungkinan lain alat itu sendiri yang sangat memungkinkan dapat ikut mendukung dalam pagelarannya.

Untuk gending tari dan wayang, begitu pula sekar/vokal, kendang dan rebab sangat terasa dominant sekali. Salah satu cirri dari karawitan tari Sunda telah menonjolkan tepak-tepak kendang dalam mendukung gerak-gerak tari itu, sedangkan rebab banyak dijadikan dasar-dasar lagu dan dijadikan pula patokan dalam tarian yang dibawakan. Pada tari Lalamba akan terasa hambar sekali bila waditra rebab ini tidak ada. Gunung Sari, Gawil, Kawitan adalah nama-nama lagu yang padu dengan nama tarian dan sukar untuk dipisahkan antara lagu dan gerak.

Demikian menonjolnya tepak-tepak kendang dalam tari Sunda klasik, sampai-sampai kendang itu menjadi alat yang terkecuali tidak dapat dipisahkan atau dihilangkan dalam teknis pagelarannya/pertunjukannya.

e) Nilai-nilai Tersendiri dalam Motif Tabuh
Lagam gending antar waditra gamelan menjadi suatu komposisi yang padu dalam pagelarannya. Lagam-lagam itu mempunyai motif-motif tabuh secara tersendiri, yang berlainan dengan waditra lain.
Dalam gamelan kita mengenal bermacam-macam tabuh, seperti: Dicaruk, Dikemprang, Dipancer, Digumek, Dicacag dan lain-lain.

Lagam carukan dalam saron, boning, gambang, teknisnya berlainan walaupun ada persamaan-persamaan motif di dalamnya. Perbedaan-perbedaan lagam gending ini membawa bentuk gending Sunda pada cirri-ciri yang mandiri bila dibandingkan dengan gending-gending daerah lain.
Jelasnya gending Sunda didukung oleh melodi yang berlainan lagam, menjadikan suatu paduan dengan jatuh bersamaan pada patokan-patokan kenongan dan goongan.