3 Istilah istilah
Pada karawitan sunda, khususnya karawitan gending terdapat beberapa istilah yang sering dipergunakan sehari-hari.
Adapun istilah-istilah itu antara lain:
3.1. Wiletan
Wiletan atau wiramatra identik dengan matra (maat, metrum) pada musik atau pengertian gatra pada karawitan Jawa. RMA Kusumadinata menguatkan arti sebagai berikut:
“Wiletan (wiramatra): tegesna lolongkrang di antara dua wirahma” (Wiletan merupakan jarak di antara dua wirahma)
Jatuhnya kenongan dan goongan banyak berpangkal kepada wiletan, tergantung pada irama lagu yang dipergunakan, sebagai contoh:
Irama lagu sawilet mempunyai 4 wiletan dengan jumlah ketukan 16, pada gerakan sedeng/panengah. Tiap wiletan mempunyai 4 ketukan. Kenongan lagu jatuh pada ketukan ke-8 dan goongan jatuh pada ketukan ke-16. untuk jelasnya perhatikan bagan di bawah ini:
/ / wiletan = matra
/ . . . . / titik-titik, ketukan yang terdapat dalam matra/wiletan
N NG
/ . . . . / . . . . / . . . . / . . . . / N = Kenongan, G = Goongan
Keterangan:
Sawilet mempunyai 4 wiletan, di mana pada ketukan ke-8 jatuh kenongan dan pada ketukan ke-16 jatuh goongan dengan mempergunakan irama lagu sedang.
Pembagian daerah wiletan pada irama lagu sawilet terdiri dari:
/ . . . . / . . . . / . . . . / . . . . /
wiletan pancer wiletan kenong wiletan pancer wiletan gong
Pembagian daerah kenongan dan goongan pada matra/wilet, bila dilihat dari segi jalannya lagu:
/ . . . . / . . . . / . . . . / . . . . /
wiletan gong wiletan kenong wiletan gong
Untuk lagu-lagu dua wilet pada dasarnya merupakan perkalian dua dari bentuk irama satu wilet, baik dalam jumlah wiletan maupun dalam ketukan, jatuh satu goongan pada irama dua wilet pada ketukan ke-32 atau pada akhir wiletan kedelapan.
Pada prakteknya bentuk dua wilet ini dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu : Dua Wilet kendor dan Dua Wilet gancang.
Para nayaga yang biasa mengiringi lagu-lagu kawih dan sinden cenderung menyebut bentuk dua wilet gancang ini dengan sebutan gerakan satu setengah. Disebutkan lebih lanjut bahwa untuk gerakan satu setengah ini, irama yang dipergunakan dengan ukuran tertentu, yaitu sawilet kendor, duawilet gancang. Irama satu setengah wilet ini sangat disenangi karena terasa sangat leluasa untuk memberikan variasi dan improvisasi, baik untuk sekar maupun untuk juru gending. Sekar dalam kawih paling banyak mempergunakan wiletan satu setengah ini.
Bentuk lagu empat (4) wilet biasa menggunakan gerakan lalamba atau lenyepan. Gong jatuh pada ketukan ke-64 dan kenongan pada ketukan ke-32, dengan jumlah 16 wiletan dalam satu goongan. Lagu lalamba biasa disebut lagu lagu “Ageng”. Hal ini sebenarnya kurang tepat apabila yang menjadi pegangan pada bentuk empat wiletan, karena bisa ditemukan lagu-lagu yang dikategorikan lagu ageng, tetapi dilihat jumlah wiletannya, ternyata ada yang lebih, sebagai contoh kita dapati pada gending Gawil. Suatu keistimewaan yang lain bahwa selain dari jumlah wiletan berbeda dengan lainnya, juga terdapat gong rangkap (gong berturut-turut setelah gong pertama kemudian gong lagi).
Lagu lalamba terasa adanya kekuatan dalam menjalin rasa ketenangan; hal ini tampak dari segi lagunya dan tercermin dalam teknis menabuh gamelannya. Dalam adegan wayang golek, lalamba sering digunakan untuk watak-watak yang halus. Suatu hal yang sangat dominant sekali pada lalamba ini ialah waditra rebab, di mana waditra ini dijadikan jejer/pokok yang sangat menonjol sekali dalam membawakan melodi lagu dan dijadikan patokan untuk gerakan tari yang dibawakan.
Gerakan Kering/Gurudugan, wiletan hanya terdiri dari dua matra saja, gong jatuh pada ketukan kedelapan dan kenongan jatuh pada ketukan ke empat. Karena gerakannya yang cepat pada wilet kering ini, hamper tidak ada kesempatan kepada sekar untuk mengisinya. Irama kering biasanya sangat sesuai untuk watak-watak keras dan kasar atau untuk mendukung adegan peperangan.
Perubahan antara irama dalam ketukan wiletan dan lagu disebut naek (ditaekeun)atau turun (diturunkeun). Untuk naek dan turun ini waditra kendang mempunyai peranan penting dalam memberi aba-aba dengan pukulan tertentu sehingga para juru gending mengerti akan adanya peralihan dalam lagu gending. Istilah naek (ditaekkeun) terjadi pada wiletan-wiletan terakhir pada lagu. Jalannya lagu bisa menurun pada iramanya, kemudian kira-kira empat ketuk sebelum gongan berjalan datar (cenderung lebih cepat) untuk kemudian masuk pada irama tabuh/lagu yang dituju.
3.2. Pangkat
Pangkat ialah lagu yang pendek, diaminkan/dibawakan oleh salah satu waditra atau sekar/vokal, untuk memulai lagu/gending, baik yang bersifat tandak maupun irama merdeka.
Gunanya pangkat:
a. Untuk memberi aba-aba dan pengarahan terhadap lagu yang akan dimainkan;
b. Untuk memberikan irama lagu yang dipergunakan;
c. Dasar-dasar patetan dan surupan untuk sekar dang ending.
Pada pergelarannya, pangkat bisa dibagi dalam beberapa bagian, yaitu:
3.2.1. Pangkat Tabuh
Pangkat ini cenderung mempergunakan laras yang sama untuk lagu yang akan dimainkan. Sangat terima sekali apabila pergelarannya itu merupakan pergelaran gending saja (instrumentalia).
3.2.2. Pangkat Lagu
Pangkat ini lebih banyak berorientasi kepada laras yang dipergunakan oleh lagu sekar. Waditra yang sangat memungkinkan ialah rebab karena rebab bisa mengungkapkan nada-nada dalam berbagai laras. Sebagai contoh, gamelan salendro bila akan mirig lagu sekar dalam laras lain seperti degung, madenda, pelog, maka rebab langsung memainkan laras yang dipergunakan, sedangkan waditra lain tetap menabuh dengan nada-nada salendro. Paduan antara sekar dang ending dalam nada yang sama akan bertemu pada saat kenongan dan goongan dengan bentuk-bentuk yang tumbuk. Yang dimaksudkan dengan tumbuk ialah nada yang sama dalam laras yang berbeda, baik antara waditra dan wanitra maupun waditra dengan sekar/vokal. Sifat iringan yang berbeda laras seperti contoh di atas bisa disebut Panganti.
3.2.3. Pangkat Pangjadi
Dalam pangkat pangjadi, pangkat tidak putus sesudah gong saja, tetapi setelah itu masih mempunyai tugas untuk mengarahkan lagu yang akan dimainkan bersma, yang biasanya dibantu pula oleh waditra lain yang berfungsi sebagai pembawa irama lagu, yaitu waditra kendang. Banyaknua matera dalam pangkat pangjadi yang dilaksanakan kemudian setelah gong berkisar pada satu atau dua matera saja. Contoh dalam gending bentuk lalamba sangat jelas terasa adanya pangkat pangjadi.
3.2.4. Pangkat Peralihan
Bentuk dalam pangkat peralihan sebenarnya hampir sama dengan pangkat-pangkat yang lain. Dalam pelaksanaannya terdapat perbedaan yang menyolok, yaitu sebagai jembatan peralihan, baik dalam irama lagu maupun posisi tabuhnya.
Sebagai contoh pada iringan tari Anjasmara yang memergunakan tabuh gending Rumiang sebagai patokan gendingnya, diawali dahulu dengan gending “gurudugan” setelah ada aba-aba dengan kendang maka salah satu waditra membuat pangkat peralihan dan memberikan arahan irama dang ending yang akan dibawakan. Dalam iringan-iringan Tari Kursus terasa setelah gerag Baksa (ngabaksaan) beralih kepada tari Lenyepan.
3.3. Posisi (Patokan/Pola) tabuh
Posisi Tabuh diambil atau diolah dari jatuhnya kenongan dan goongan pada nada-nada yang tetap dengan ritme yang sama sebagai bentuk kristalisasi untuk menyerhanakan bentuk.
Posisi tabuh bisa dikembangkan menurut
a. Patet yang dipergunakan
Patet yang digunakan pada suatu gending apabila dirubah maka akan terjadi perubahan baik akan jiwa gendingnya, suasana dan tentu saja merubah nama lagunya. Patokan untuk diperbandingkan biasa berorientasi kepada patet Nem (barang)
b. Irama lagu yang dipergunakan
Perubahan terjadi pada dasarnya merupakan pengembangan ritme pada jatuhnya kenongan dan goongan, akan menyebabkan pula perubahan suasana, jiwa dan nama lagu. Contoh lagu Gendu sawilet diubah menjadi empat wilet, maka nama lagunya menjadi Tablo.
Nama-nama posisi tabuh dalam patet Nem
(1). Gendu kenongan tabuh T (G)
(2). Kulu-Kulu kenongan tabuh L (G)
(3). Banjaran kenongan tabuh T (L) T (G)
(4). Panglima kenongan tabuh G (L) G (T)
(5). Karang Nunggal kenongan tabuh L (T) L (G)
(6). Bendrong kenongan tabuh (T) – (L)
(7). Angle kenongan tabuh (T) – (L) – (G)
(8). Renggong Gancang kenongan tabuh L (T) P (G)
(9). Samarangan kenongan tabuh (L) – (G)
Keterangan:
* Nada yang dipakai kurung artinya goongan
* Untuk posisi yang seluruhnya memakai kurung, berlaku rangkap, sebagai kenongan juga sebagai goongan.
* T = Tugu, L = Loloran, P = Panelu, G = Galimer, S = Singgul
No comments:
Post a Comment